Selasa, 04 Januari 2011

Surat Untuk Isteriku

Surat Untuk Isteriku
Dear istriku…
“Belum terhapus dalam ingatanku, masa-masa indah dulu. Sebelum ku selipkan dijarimu tanda manis kenangan indah bernada kemesraan yang kan abadi seiring waktu yang terus berlenggang bersama nyanyian alam. Belum juga ku lupakan senyummu saat pertama ku selip di jari manismu itu sebagai tanda ikatan sakral, simbol menyatunya cinta kita untuk selamanya. Tak kan ada lagi yang akan memisahkan kita, entah itu mantan pacarmu yang dulu pernah memusuhiku karena aku mencoba mendekatimu atau bekas pacarku juga yang dulu pernah menyumpahiku terkutuk karena tersenyum padamu, hanya tersenyum. Kecuali takdir Tuhan.
Istriku.., masih ku ingat, hanya kamu yang tahu keadaanku yang sebenarnya, saat masalah datang padaku sebelum kuceritakan hal itu pada yang lain, hanya kau yang mengerti aku saat ku terdiam dikeramaian meski wajahku nampak cerah dimata yang lain. Senyum itu obatku, aku terdiam dan tanpa bergeming sedikitpun jika kau tersenyum, meski kutahu kalau kau milik orang lain.
Istriku.., kukira tak ada yang selembut hatimu, orang-orang disekitarmu tak mungkin bisa berbuat begitu jika seseorang menyayat hatinya, dia kan beri balasan setimpal dengan yang diperbuat. Kau tak seperti itu, hanya pintu maafmu selalu terbuka bahkan bagi seorang yang bengal seperti aku, istriku kau malaikat hatiku.
Istriku.., kita tahu perjalanan ikatan ini hampir genap setahun, kita tahu akan ada yang hadir dalam hidup kita sebagai anugerah dari tuhan, orang akan mengumpat jika sebuah ikatan yang dijalin untuk melestarikan habitat makhluk tuhan yang bernama manusia itu tidak ada yang hadir setelah setahun perjalanan mereka, apalagi dua  kali lipat perjalanan. Kuyakin saat ini dalam janin itu ia tersenyum merasa dirinya akan disambut bahagia oleh sang ayah, meski akhirnya ia menangis tak mau meninggalkan tempat asalnya, penuh dengan kehangatan seorang ibu, tanpa ia rasakan betapa pedihnya kehidupan di dunia, sayang ia harus hidup layaknya oranga tua yang akan mengasuhnya kemudian.
Cicin ditangan ini mengekangku ke jalan yang lurus pandanganku tertuju hanya pada satu wajah saja, tak ada yang bisa menghalangi pandanganku pada wajah lain selain wajahmu. Meski dua hari yang lalu seorang wanita cantik duduk sebangku denganku dalam sebuah bis kota saat ku mau pulang menemui mu, ia sedikit memanja, menggodaku, sepintas aku tahu kau akan tersenyum dengan guyonanku ini, tapi aku tak ingin melihat senyummu miris. Jujur kukatakan padamu, tak ada yang lebih manja didepan mataku selain rengeanmu padaku ketika masa-masa kuliah dulu. Itu sempat menjengkelkanku, meski aku merasa senang lebih memberi perhatian lebih padamu lewat rengekanmu.
Wajah keibuanmu membuatku teduh, merasa dalam belaian keluarga yang hangat meski ku tak punya siapa lagi didunia ini selain ayahku yang tua renta dikampung sana, saat kutinggal bersamamu melanjutkan kehidupan yang lebih mapan, dan saudaraku memintaku untuk menitipkan beliau padanya. Bukan aku tega, aku tak mau dia tak terurus bersamaku, aku rindu dia, isrtriku hanya dia orang tuaku yang mengasuhku dengan susah payah dari kukecil hingga aku bertemu dengan mu di Universitas Negeri itu.
Akhir kataku, aku pergi hanya sementara, tak ada yang bisa menunda pertemuan kukembali bersamamu berhias nyanyian rindu selain kematian yang tuhan berikan kepadaku sebagai akhir perjalanan kita didunia ini, tak ada secuil senyummu yang mempu kulupakan, keteduhan matamu, sayunya mengahngatkan jiwa setelah seminggu terpisah, meski langit selalu saja merauku dengan gamabaran awan berbentuk wajhmum, aku hanya tersenyum. Salamku untuk sang fajar yang akan muncul ditengah-tengah kita sebagai tumpuan kita kelak dia dewasa. 
       
Surabaya, 03 January 2011

Suamimu
***
 Tak ada yang tahu bahkan sinar sang bulan yang sedari tadi mengintip dengan malu, seorang wanita membuka kembali surat yang pernah dikirim suaminya yang bertugas di tempat yang cukup terpencil, tetes itu jatuh dari mata satu dan teduh seorang wanita yang hamil anak pertamanya. Tapi sang rembulan tahu kegelisahan dan kerinduan seorang istri pada suaminya, sesaat sang bulan murung, cahaya ceria hilang dari wajahnya yang tersapu awan mendung, serentak tetes air turun dari langit, serasa sang bulan menangis menyaksikan kesedihan seorang istri, hujan itu separti tangis sang bulan dimalam hari hening dan bening tanpa ada sahutan orang-orang kampung yang ronda, tak ada bisikan binatang malam yang setiap kali memamerkan suara-suara merdunya tanpa ada kesepakatan untuk saling beradu merdu seperti pelaksanaan lomba.
Sedu sedan tak terdengar ditelan deras hujan yang menghantamkan tetesannya ke bumi, sahutan angin ikut menyorakkan hantamannya, dingin malam berkecamuk menyusuri pepohonan, menyusup melalui celah-celah jendela dan dirasakan oleh sesosok yang dari tadi tersedu hati berharap pelukan hangat seorang suami, tak ada yang bisa menemani dan memberikan kehangatan selain selimut tebal dan boneka beruang teman tidur saat dia tinggal di kos-kosan ketika kuliah dulu.
“Sudahlah aku sudah pulang, hapus air mata itu, tak perlu lagi kau menangis setelah kedatanganku, saat ini aku milikmu seutuhnya, tak ada lagi yang bisa menghalangimu, jangan terlarut dalam sedih, sang sajar akan hadir bersama kita dan mengahpus segala kerinduanmu jika aku pergi lagi” Seorang pria yang sedari tadi menyaksikan istrinya bercerita keadaan batinnya semenjak ia pergi dari sisinya, cukup lama ia rasakan penderitaan yang dialami istrinya, sepulang dari tugas, haru biru suasana rumah mulai ia rasakan, tanpa ada ragu ia curahkan rindu yang terbendung seminggu berlalu.
Serangga kecil mengintip dari balik kaca jendela, dua tubuh yang bersatu dalam hasrat kerinduan yang tak tertahankan, dia tak tahu apa yang mereka perbuat setelah bersedu sedan dengan waktu yang cukup lama, seakan pelukan mereka tak bisa terlepas, tak juga langit yang sedari tadi menangis mengaksikan kesedihan dari surat yang dibeca oleh seorang isteri, langit iba padanya dan suasan dingin ditambah olehnya yang menambah pelukan itu tambah erat seerat sampul mati untuk menyatukan dua benda yang terpisah.
Tanpa meraka sadari sedari tadi ayam jantan pun berkokok namun sahutannya tak ada yang menggubris ditengah hujan yang cukup mereda setelah satu jam lamanya dan mereka masih belum terganggu oleh suasana diluar kaca jendela yang menyaksikan.

Gang Buntu, 04 January 2011
(PP. Nurul Qur'an)             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar